Maluku dan Maluku Utara merupakan 2 provinsi di Indonesia bagian Timur yang tersusun dari banyak pulau kecil dan karena itu memiliki kondisi fisik wilayah yang sangat berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia yang umumnya adalah wilayah continental (pulau besar). Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa ekosistem hutan pada pulau-pulau di Maluku dan Maluku Utara sangat peka terhadap perubahan lingkungan terutama akibat aktivitas manusia dan bencana alam. Selain itu kondisi masyarakat yang tinggal di dalam maupun disekitar hutan pada umumnya adalah miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Selama ini pembangunan kehutanan di Maluku dan Maluku Utara masih didasarkan pada program dan kebijakan pembangunan kehutanan yang diadopsi dari wilayah-wilayah pulau besar (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua) sehingga dalam kenyataan berdampak negatif terhadap ekosistem pulau kecil. Selain itu pembangunan kehutanan di Maluku dan Maluku Utara sangat mengabaikan prinsip kemitraan, partisipatif dan multipihak sehingga banyak implementasi dari pada program pembangunan kehutanan yang gagal ataupun menimbulkan konflik dengan berbagai pihak terutama masyarakat adat.
Berdasarkan pada berbagai realitas diatas maka workshop National Forest Program (NFP) regional Maluku dan Maluku Utara dilaksanakan dengan tujuan utama untuk mengidentifikasi issue-issue strategis pembangunan kehutanan di Maluku dan Maluku Utara serta membahas langkah-langkah tindak lanjut berupa rencana implementasi program. Dalam rangka itu maka workshop telah diarahkan pada sebuah tema khusus, yaitu : Perencanaan Pembangunan Kehutanan Berbasis Ekosistem Pulau Kecil, dimana tema ini kemudian didukung oleh 6 makalah utama.
Workshops dihadiri oleh 80 peserta yang dipilih dari 5 kelompok stakeholders yaitu eksekutif, legislatif, NGO, akademisi dan tokoh masyarakat adat. Selanjutnya perlu di tambahkan bahwa sebelum pelaksanaan workshop telah dilakukan sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders dan teridentifikasi 4 main issues, yaitu (1). hutan dan fungsi ekonomi, (2). hutan dan fungsi konservasi, (3). hutan dan kebijakan, serta (4). Hutan dan masyarakat adat. Selama hari pertama workshop, partisipan diperkuat pemahamannya tentang kondisi aktual pembangunan kehutanan secara regional dan nasional melalui pendekatan metode talk-show. Selanjutnya pada kedua partisipan dikelompokan menjadi 4 group diskusi berdasarkan 4 main issues diatas dan masing-masing group membahas sub-issues dan implementasi program.
Selanjutnya partisipan workshop juga berhasil menentukan 4 (empat) isu kunci yaitu :
(1) ISU EKONOMI; 1) Pengembangan Manajemen Partisipasi Masyarakat dalam pengelolaan hutan. 2) Pengembangan usaha-usaha hasil hutan Non kayu (pelatihan, penyuluhan dan lain-lain),
(2) ISU KONSERVASI; 1) Pola pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal masyarakat dan daya dukung pulau. 2) Pola tutupan hijau pada pulau 60% dan pemanfaatan lain 40%. 3) Tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan harus sesuai dengan kondisi alam (karakteristik pulau), dengan pemilihan bibit menggunakan jenis tanaman unggul lokal (Cth: Torem dan atong). Jika perlu dibuat arboretum.4) Perlu adanya konservasi terhadap hutan bakau.
(3)
ISU KEBIJAKAN ; 1) Pengelolaan hutan di Maluku dan Maluku Utara berbasis pada masyarakat (CBFM) dengan tetap mempertahankan kearifan lokal seperti pola hutan rakyat/adat, 2) Proses penyusunan kebijakan pembangunan kehutanan melalui proses kemitraan dan partisipasi, multi-stakeholder, lintas-sektoral dan transparan dengan mengakomodir nilai-nilai luhur masyarakat.
(4)
ISU HAK ULAYAT; 1) Mempertahankan nilai-nilai pengaturan dan pemungutan hasil hutan.2) Penataan dan pengukuhan batas-batas tanah ulayat melalui PERDA 3) Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mulai dari perencanaan sampai dengan bagi hasil.
Workshop regional Maluku dan Maluku Utara menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu :
(1). Hutan di Maluku dan Maluku Utara tumbuh dan berkembang di atas pulau-pulau kecil dengan kondisi ekosistem yang paling peka terhadap perubahan-perubahan fisik lingkungan, (2). Masyarakat yang tinggal didalam dan sekitar hutan secara umum adalah miskin dan berpendidikan rendah, (3). Pendapatan Asli Daerah (PAD) Maluku dan Maluku Utara masih bertumpu pada sumbangan sektor kehutanan, (4). Laju kerusakan hutan di Maluku dan Maluku Utara terus meningkat, (5). Proses perencanaan sampai implementasi program pembangunan kehutanan di Maluku dan Maluku Utara sepenuhnya tidak mengandung unsur kemitraan, partisipatif dan multipihak, (6). Hutan belum dikelola dengan konsep lestari dan serbaguna, (7). Masih banyak kebijakan pemerintah di sektor kehutanan yang merugikan kepentingan dan keberadaan masyarakat hutan adat.
Selanjutnya rekomendasi yang dihasilkan berupa :
(1). Konsep pembangunan hutan di Maluku dan Maluku Utara harus berdasarkan pada pendekatan ekosistem pulau kecil, (2). Perlu percepatan rehabilitasi hutan di Maluku dan Maluku Utara, (3). Implementasi program pembangunan kehutanan di Maluku dan Maluku Utara harus menggunakan prinsip kemitraan, partisipatif dan multipihak, (4). Diperlukan suatu lembaga pengawal PKN pada tingkat regional untuk berfungsi sebagai inisiator, mediator dan fasilitor dalam pelaksanaan program-program PKN skala regional, (5). Perlu dibentuk Forum Hutan Adat untuk memperjuangkan hak dan kewajiban masyarakat adat untuk melindungi, menjaga dan memanfaatkan hutan, (6). Untuk mencapai pengelolaan hutan yang arif, perlu digunakan managemen kolaboratif dan adaptif yang berbasis pada sumberdaya alam dan masyarakat, (7). Untuk memelihara kelestarian hutan, perlu diterapkan konservasi hutan yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Untuk itu diperlukan pertimbangan-pertimbangan akademik yang realistik yang mampu menjelaskan bahwa penutupan hutan sebesar 40 – 60 % atau pelarangan kegiatan penambangan dan penebangan kayu pada di pulau-pulau kecil merupakan kebutuhan mendesak bagi Maluku dan Maluku Utara, (8). Masyarakat merupakan salah satu pelaku utama pengelolaan hutan dan dengan demikian masyarakat berhak untuk memperoleh manfaat yang adil atas kegiatan pengelolaan dan pendayagunaan sumberdaya hutan, (9). Perumusan kebijakan kehutanan yang menyangkut tahapan perencanaan, penyelenggaraan pengelolaan serta monitoring dan evaluasi perlu dilakukan dengan proses multipihak yang partisipatif serta transparan, (10). Pengakuan terhadap hak-hak adat dan ulayat atas hutan dan sumberdaya hutan perlu dituangkan dalam bentuk peraturan daerah, (11). Diperlukan tindak lanjut dari pada workshop berupa action plan dengan pembentukan steering committee, sosialisasi output workshop, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia sebagai objek dan subjek pembangunan kehutanan, serta penyediaan fasilitas pendukung, (12). Prioritas action plan diarahkan pada aspek rehabilitasi lahan dan hutan, peningkatan ekonomi masyarakat disekitar dan dalam hutan, kepastian hak masyarakat atas sumberdaya alam dan hutan, peningkatan jumlah dan kualitas kawasan-kawasan konservasi terutama pada pulau-pulau kecil serta kepastian tata ruang dan tata guna lahan pada tiap pulau, (13). Steering committee harus mengkonsultasikan dengan National Forest Program (NFP) tentang pembentukan suatu tim yang bertugas membantu steering committee untuk proses fasilitasi, evaluasi dan monitoring pelaksanaan program di lapangan.