Agustinus Kastanya*
*Staf Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unpatti Dan Community College Perdamaian Halmahera Tobelo
Kerusakan hutan telah menjadi masalah dunia, karena telah menimbulkan bencana lingkungan berupa perubahan ilkim global, pemanasan bumi, kenaikan permukaan air laut, bencana banjir, kekeringan, longsor, hancurnya daerah pantai dan pesisir, kerusakan terumbu karang dan sumber daya laut pada umumnya. Akibat bencana lingkungan, berdampak langsung pada bencana sosial yaitu timbulnya kemiskinan di sebagian besar masyarakat, kematian manusia secara massal, hancurnya biodiversitas dan seluruh infrastruktur pembangunan seperti yang telah terjadi juga di Indonesia saat ini. Konsep pembangunan hutan lestari yang tidak memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan social-budaya masyarakat local secara terintegrasi, merupakan pengingkaran terhadap “pengertian kelestarian hutan”. Hal ini yang berlaku dalam kebijakan pembangunan hutan di Indonesia pada masa silam, dengan akibat yang merusak selama ini. Fakta ini jelas terlihat dalam sejarah pengelolaan hutan alam di luar pulau Jawa, sejak mulai berlakunya UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967. Sejak itu Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mulai diberikan kepada segelintir konglomerat tanpa konsep yang jelas. Setelah HPH beroperasi masyarakat sekitar hutan mulai dipinggirkan. Akibatnya, masyarakat melakukan pembangkangan terhadap seluruh kebijakan pemerintah dan HPH. Illegal loging mulai tumbuh tanpa kendali. Kebijakan demi kebijakan yang muncul justru membuat semakin runyamnya kerusakan hutan. Kebijakan pembangunan kehutanan seperti telah dijelaskan, bertepatan dengan berlakunya otonomi daerah sebagai bagian dari proses reformasi, pada sebagian besar daerah hanya mendorong proses percepatan deforestasi. Karena infrastruktur pembangunan wilayah seperti tata ruang tidak diperhatikan dengan baik, integrasi pembangunan sektoral dengan pembangunan wilayah tidak berjalan, pemekaran kabupaten tidak memperhatikan batas-batas ekologi dan perangkat institusional yang saling tumpang tindih, menunjukkan capacity building dari seluruh stageholder sangat lemah. Fakta ini justru diberlakukan pada daerah kepulauan (Provinsi Maluku dan Maluku Utara), sebagai kawasan pulau-pulau kecil yang memiliki karakter dan ciri-ciri spesifik, yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
Selanjutnya ...