George Corputty
(Jaringan Baileo Maluku)
Sejak tahun 1988, beberapa pemimpin masyarakat adat lokal dari Kepulauan Kei, Tanimbar, dan Seram mulai sering bertemu untuk saling bertukar pengalaman dan informasi mengenai berbagai permasalahan masyarakat mereka di tempat asal masing-masing. Sejak tahun 1990, beberapa orang muda terpelajar dari daerah-daerah tersebut juga mulai ikut dalam beberapa pertemuan mereka sampai akhirnya, pada tahun 1991, mereka bersepakat membentuk satu sekretariat di Kota Ambon dengan nama “Forum Maluku”, disingkat FORMAL. Forum ini bertugas memfasilitasi koordinasi di antara mereka, membantu mereka mulai membentuk organisasi-organisasi lokal untuk melaksanakan beberapa program kegiatan tertentu, dan membangun komunikasi dengan berbagai pihak dan kalangan di luar Maluku yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Pada pertengahan tahun 1993, mereka membentuk satu tim khusus untuk melakukan suatu kajian mendalam dan menyeluruh terhadap masalah-masalah utama masyarakat adat di seluruh Maluku. Delapan orang musa (empat diantaranya adalah putra asli Maluku sendiri), secara terpisah tetapi pada waktu yang bersamaan, melakukan perjalanan keliling selama 8 minggu ke berbagai pelosok, mulai dari Pulau Morotai dan Halmahera di ujung utara, sampai ke Kepulauan Aru di ujung timur dan Pulau-pulau Kisar dan Wetar di ujung tenggara barat. Hasil pengamatan intensif ini, setelah dianalisis dan dikaji-bandingkan dengan berbagai dokumen sejarah dan kebijakan yang pernah ada sejak abad-14, memperlihatkan secara gamblang proses-proses peminggiran (marginalisasi) masyarakat adat penduduk asli kepulauan Maluku melalui tiga cara : (1) pencaplokan kawasan ulayat adat masyarakat setempat untuk penanaman modal besar dan pengurasan sumberdaya alam; (2) pengebirian otonomi organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga tradisional, dan (3) pemaksaan nilai-nilai baru yang mendukung pencaplokan kawasan ulayat adat dan pengebiriann otonomi lokal tersebut (Roem Topatimasang et. al., Potret Orang-orang Kalah: Kasus Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku, 1993), mimeograf). Insist Press pada Tahun 2004 kemudian membukukannya dalam Orang-orang Kalah). Hasil kajian itu kemudian digunakan untuk menyelenggarakan serangkaian pertemuan dengan para pemuka masyarakat adat dan wakil beberapa organisasi lokal dari Kepulauan Kei, Aru, Tanimbar, Lease dan Seram. Pada tangg 10 Desember 1993, mereka semua berkumpul di Pantai Latuhalat di Pulai Ambon dimana mereka kemudian merumuskan pokok-pokok pikiran tentang prinsip-prinsip, strategi, cara-cara pendekatan, dan bentuk-bentuk tindakan yang mereka dapat lakukan, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk menghadapi proses-proses penyingkiran masyarakat lokal Maluku dengan segenap permasalahannya. Untuk itu, mereka bersepakat mengubah FORMAL manjadi satu jaringan kerja yang terorganisir secara sistematis, dengan nama “Baileo Maluku”. Nama ini dipilih sesuai dengan konsep tradisional adat di Maluku dimana “baileo” (balai) adalah tempat umum dan terbuka (forum) bagi seluruh warga masyarakat melakukan pertemuan, perhelatan dan upacara adat serta berbagai peristiwa penting kemasyarakatan lainnya.
Selanjutnya ...