Robert Oszaer
(Staf Dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura-Ambon)
PENDAHULUAN
Pengelolaan hutan alam di luar Jawa termasuk di Maluku dan Maluku Utara pada tahun 1970-an, dengan masuknya modal, personil dan teknologi Jepang. Model kerja yang diterapkan berupa “production sharing” yang dalam hal ini Indonesia memiliki sumberdaya alam dan Jepang memiliki personil, teknologi, modal dan pasar. Penerapan model “production sharing” merupakan pilihan terbaik karena selain Indonesia sangat memerlukan modal untuk pembangunan ekonomi, juga peningkatan sumberdaya manusia kehutanan Indonesia melalui “inservice trainning” dan masalah teknik, juga manajemen kualitas dan keterampilan lainnya sangat diperlukan. Di era orde baru diterbitkan UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Pokok Kehutanan Nomor 5 tahun 1967, makin memantapkan usaha pembangunan ekonomi dengan pembalakan hutan alam luar Jawa. Kedua UU ini telah membuka peluang bagi pembalakan hutan secara besar-besaran dengan menggunakan teknologi maju oleh tenaga kerja Indonesia berkerja sama dengan tenaga kerja asing. Dalam manajemen sumberdaya hutan diberlakukan Hak Pengusahaan Hutan kepada badan-badan usaha yang memenuhi syarat. Pada saat itu Indonesia mulai menerapkan Tebang Pilih Indonesia, suatu sistem silvikultur (Selective logging) yang diadaptasi dari Philippines Seletive Logging dan Malayan Selective Logging yang ditetapkan oleh Keputusan DirJen Kehutanan Nomor 35/DD/1969. Perlu diakui bahwa sumberdaya hutan selama 32 tahun masa orde baru merupakan komoditi andalan perolehan devisa negara. Tebang langsung jual adalah sistem yang diterapkan pada saat itu, karena areal hutan seluas 144 juta hektar dengan sifat yang terbarukan akan mampu perbaharui diri, ternyata tidak sejalan secara matematis. Yang terjadi adalah kesemuan pada kurun waktu itu, karena secara matematis, akselerasi deforestasi makin hari semakin tinggi tanpa mampu diikuti akselerasi regenerasinya (permudaan alam atau permudaan buatan). Melihat keadaan hutan kita sekarang mungkin terlambat, meskipun belum terlalu terlambat, untuk memperbaharui kemelut tersebut. Jika sisa hutan yang ada sekarang mampu dikelola secara baik, niscaya harapan me-recovery seluruh aspek hutan masih terbuka. Dibutuhkan rimbawan yang “positive thinking” untuk kelestarian hutan, dan bukan rimbawan yang sekedar mau ditempatkan di Camp HPH saja karena dorongan lapangan kerja, tetapi buta terhadap lingkungannya. Rimbawan selama kurun waktu era orde baru dinilai sebagai penyumbang utama degradasi hutan di Indonesia karena dinilai tidak mampu menerapkan kaidah-kaidah manajemen hutan berbasis keberlanjutan, karena mengikuti ritme pengusaha yang lebih mengejar profit secara ekonomi ketimbang pelestarian sumberdaya hutan. Berlalunya orde baru melalui gerakan reformasi telah membuka berbagai fakta bahwa paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi tidak cukup kuat untuk menahan krisis regional sebagai dampak dinamika globalisasi. Persoalan kini adalah bagaimanakah arah kebijakan pengelolaan hutan di masa depan dengan adanya gerakan reformasi, khusus dengan munculnya berbagai institusi baru di bidang kehutanan. Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang adalah provinsi kepulauan mengalami kemunduran yang lebih parah dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini didasarkan atas karakteristik pulau yang lebih rentan terhadap degradasi. Sifat pulau dengan DAS yang pendek tentunya membutuhkan pendekatan pengelolaan berbasis pulau dengan penutupan yang harus lebih besar dibandingkan daerah kontinental dengan pendekatan DAS. Pengelolaan hutan di Maluku perlu dilakukan dengan pendekatan Pulau bukan pendekatan DAS, sehingga kelestarian pulau secara holistik dapat menjamin keberlanjutan hutan itu sendiri. Ada atau tidaknya reformasi sektor kehutanan sudah selayaknya senantiasa melakukan reorientasi dan perubahan sesuai dinamika masyarakat. Paradigma baru pengelolaan yang bertumpu pada “forest ecosystem management” berbasis masyarakat dipastikan akan menjamin keberlanjutan hidup secara sosial, ekonomi, ekologi dan equity. Makalah ini secara ringkas membuat tinjauan terhadap apa yang terjadi dengan hutan dan kehutanan di Maluku dan Maluku Utara sehingga isu-isu yang berkembang dan merupakan masalah kunci terjadinya degradasi hutan di wilayah ini dapat ditemukan dan disiasati solusinya sehingga prinsip keberlanjutan dari ekosistem hutan dapat terbukti terutama dengan penerapan kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang sebenarnya.
Selanjutnya ....