NFP LOGO
logo nfp
   
button

 
FOREST DEGRADATION
BOOKS DEGRADATION
 
HASILKAN UANG
DARI BLOG ANDA

money

DOWNLOAD FREE
SOFTWARE
FREE SOFTWARE
DOWNLOAD FREE
GAMES
FREE GAME
Privacy Policy

 


MEMBANGUN TINDAKAN KOLEKTIF (COLLECTIVE ACTION) MENUJU PENGELOLAAN HUTAN LESTARI


Marzuki Latuconsina
(Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Tengah)

Kerusakan hutan adalah cermin lain, jika kita ingin melihat wajah yang sebenarnya mengenai institusi, pelaksanaan pemerintahan dan birokrasi serta perilaku usaha (kehutanan). Pengertian institusi yang dimaksud disini adalah aturan formal maupun informal dan bentuk sanksinya yang dapat membatasi atau memberi peluang bagi pengambilan keputusan, baik oleh pemerintah, dunia usaha maupun oleh masyarakat. Bentuk institusi pengelolaan hutan produksi yang sampai saat ini masih berjalan, dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, berbagai bentuk izin yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi bentuk kontrak yang berat sebelah, sehingga memunculkan fenomena asymetric information antara pemerintah selaku pemilik hutan (principal) dengan pelaku usaha (agent). Kedua, ukuran kinerja yang selama ini diterapkan, tidak menyertakan hal yang sangat prinsip yaitu kondisi kayu di hutan sebagai fixed capital. Karena fixed capital ini dalam usaha kehutanan adalah “pabriknya”, maka kinerja usaha kehutanan yang benar adalah “pabrik” ini tidak menurun jumlah dan kualitasnya. Maka dari itu, rumusan dalam pemanfaatan hutan adalah jumlah ditebang sama dengan jumlah pertumbuhannya. Ketiga, kekeliruan dalam penetapan ukuran kinerja di atas, menyebabkan mudahnya para pelaku usaha kehutanan mencapai prestasi kerja, karena prestasi hanya diukur dari jumlah produksi dan berbagai dampak ekonominya, tanpa memperhatikan jumlah stock hutan yang dikelolanya. Hal demikian telah menjadikan sistem pengelolaan hutan kita menjadi ajang rent seeking dengan cara menggerogoti stock hutan yang memang tidak pernah masuk dalam akunting siapapun. Keempat, iklim rent seeking telah melemahkan institusi pengelolaan hutan secara keseluruhan, yang menyebabkan masalah fundamental lainnya dalam manajemen pemanfaatan hutan di lapangan. Kelima, karakter dan perilaku ekonomi pemanfaatan hutan lebih banyak ditentukan oleh kontraktor logging, sehingga IUPHHK – sebelumnya disebut HPH – hanyalah wujud administratif, sedangkan pelaku ekonomi yang sebenarnya adalah kontraktor logging tersebut. Ironisnya, kontraktor logging tidak tersentuh dalam kebijakan pengelolaan hutan. Kondisi demikian, yang menyebabkan tingginya demand kayu secara nasional, telah direspon oleh kontraktor logging sedemikian rupa, meskipun produksi resmi yang diizinkan pemerintah hanya seperlima sampai sepertiga demand kayu nasional. Hasil penafsiran citra satelit tahun 1998 mengindikasikan bahwa virgin forest dalam areal IUPHHK rata-rata 1,86% telah ditebang sebelum waktunya, sejak dimulainya eksploitasi hutan di Maluku Tengah tahun 1978. Fakta lain adalah terdapatnya sekitar 400 ribu ha hutan produksi di Maluku Tengah yang bebas (open acces). Luasnya hutan produksi yang secara de facto “tidak bertuan” ini, serta masalah divergensi kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten sehingga tidak terwujud pemerintahan kolektif pusat daerah yang efektif, sebenarnya menjadi akar masalah (underlying causes) tumbuhnya ketidakpedulian terhadap kerusakan hutan serta hilangnya trust para “pemain” (masyarakat) terhadap “wasitnya” (pemerintah).

Selanjutnya ...

 

 

NFP
NFP
NFP
PROSIDING
Artikel Ilmiah
Related Link
 
 
 

Free Hit Counter
Subscribe to updates
 
T
  National Forest Programme - FAO - Pattimura University
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
Jln. Ir. M. Putuhena Poka 97233. Telp: (0911)322494 Maluku Indonesia
Website: www.nfp-unpatti.org Email: ewang_unpatti@yahoo.com
   
designed by irwantoshut.net  
Definisi Hutan Pengertian Hutan Manfaat Hutan Kerusakan Hutan Hutan Indonesia Fungsi Hutan