PENGETAHUAN TRADISIONAL DALAM MANAJEMEN HUTAN BERKELANJUTAN UNTUK PENYEDIAAN AIR DI PULAU KEI KECIL
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pulau Kei khususnya Kei Kecil (Bagian Selatan) merupakan wilayah pulau kecil yang sangat strategis dalam penyediaan air melalui muaranya di Desa Evu (Perusahaan Daerah Air Minum-PDAM Evu), tidak hanya bagi kepentingan masyarakat pedesaan pesisir dan Kota Langgur sebagai Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara hasil pemekaran (di Pulau Kei Kecil = Nuhu Roa), tetapi juga bagi Kota Tual dan masyarakat Pulau Dullah yang dihubungkan dengan Jembatan USDEK. Namun secara alami Pulau Kei Kecil hasil angkatan terumbu karang muda Kala-Pleistosen (0,6-11 juta tahun silam) ini, sangat rentan terhadap degradasi hutan-tanah dan siklus air segar, guna mendukung pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang terus meningkat di tengah ancaman pemanasan global kini ke depan.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kapasitas pasokan air dari PDAM Evu dalam melayani kebutuhan masyarakat dan pembangunan di kota Langgur-Tual serta desa-desa sekitar, makin hari makin menurun. Hal ini dapat dilihat dari terbatasnya pasokan dan seringkali macet-macet, termasuk di hotel/penginapan para turis. Keprihatinan terhadap masalah air bersih ini pun disuarakan khusus oleh Ketua Tim Komisi C DPRD Maluku setelah kembali dari Kunjungan Kerja di Malra (Suara Maluku, 27/3/2007). Fenomena ketidaklestarian air yang terkait dengan pengelolaan dan penurunan kemampuan fungsi hutan (ketidakharmonisan alam) dan lemahnya masyarakat adat/desa pada kawasan hulu hingga muara Air Evu (Wear Masil) ini sangatlah memprihatinkan ke depan, jika tidak diselamatkan dari sekarang.
Antara lain melalui program-program yang mendukung terlaksananya menajemen hutan berkelanjutan guna memenuhi kepentingan masyarakat setempat, dan nasional-global, di masa kini maupun masa mendatang (Departemen Kehutanan dan GTZ, 2005). Ditegaskan bahwa program yang dimaksud di sini bukanlah program perencanaan pemerintah, tetapi merupakan proses dialog partisipatif (dari masyarakat setempat) menuju kesepakatan rencana pengelolaan hutan lestari. Makna kata hutan pun tidak terbatas pada sektor kehutanan saja, tetapi berkaitan pula dengan sektor-sektor lain secara holistik.
Sehubungan dengan partisipasi/keterlibatan masyarakat setempat termasuk kaum perempuan, maka pemahaman ”kosmologi tradisional tentang realitas dunia sebagai harmoni alam semesta, adat istiadat, dan kenyataan hidup manusia dalam kerangka berpikir mitis, global/holistik, dan intuitif” (Yumarma, 2006) adalah penting. Dan kiranya dapat diterapkan pada kawasan petuanan Kei Kecil Selatan lingkar OHOIFUNWARMANEU (Ohoinol, Marfun, Warwut, Semawi, Letvuan, Evu). Hal mana secara ekologis, kerusakan hutan pada kawasan hulu (zona penyanggah) akan berdampak negatif pada sumber air di hilir Evu. Kerusakan hutan ini melibatkan Masyarakat Adat (indigenous peoples) dari desa-desa/ohoi atau kampung setempat yang berbatasan. Masyarakat adat (~ Nuhu Duan dalam terminologi Kei) disini, dimengerti sebagai kelompok masyarakat yang memper-lihatkan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai adat-istiadat rujukan yang diwariskan dari para leluhur; tatanan tradisi ini pun jadi rujukan pendatang-pendatang (Marvutun) entah sudah lama beberapa generasi ataupun yang baru.
Sementara masyarakat lokal menunjuk pada kelompok masyarakat yang memperlihatkan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum (Nuhu Duan dan Marvutun).
Dalam paradigma lama, masyarakat adat/ohoi lebih sering dipandang sebagai agen perusak hutan, dan tidak memiliki pengetahuan tentang menajemen/ pengelolaan hutan atau pentingnya hutan dan pepohonan bagi penghidupan (livelihoods) dan kesejehteraan mereka (MIPA, 2005; Envirocare, 2005). Sehingga pembangunan hutan/kehutanan bersama aneka rencana manajemen cenderung terfokus pada pandangan tersebut, dan mengabaikan partisipasi dalam aplikasi pengetahuan tradisional (indigenous knowledge) serta pengelaman-pengalaman arif yang dimiliki komunitas-komunitas pedesaan tersebut tentang manajemen hutan berkelanjutan. Akibatnya kearifan lokal mereka semakin pudar bahkan punah, dan menghambat pengelolaan hutan lestari. Padahal, jika bekerja bersama komunitas-komunitas ohoi dan sharing dengan mereka secara partisipatif-konstruktivis tentang isu-isu lingkungan dan produk-produk budaya tradisional, akan dapat dipahami bahwa mereka telah mempraktekan manajemen hutan dan budaya tradisional selama turun-temurun, serta memiliki pengetahuan/pengalaman yang baik dan otentik di mana dapat diaplikasikan bagi penghidupan/kesejahteraan berkelanjutan ke depan.
Hilang atau pudarnya pengetahuan tradisional (akar budaya Kei) berbarengan dengan erosi Bahasa Kei dan kerusakan hutan/deforestrasi dan lingkungan yang berlangsung merupakan permasalahan aktual, yang cenderung diakselerasi oleh pertumbuhan penduduk yang cepat disertai kemiskinan, pertumbuhan pasar lokal dan pengaruh budaya materialis globalisasi, proses/ prosedur pembangunan top-down sektoral (introduksi jenis tanaman/benih dan paket teknologi dari luar yang tidak adaptif misalnya) yang memarginalkan masyarakat adat demi percepatan pembangunan dan homogenisasi kultural. Pertumbuhan penduduk dan kemiskinan, disertai model pembangunan resentralis-top down yang tidak partisipatif dan tidak terintegrasi, serta lemahnya hukum, menyeret masyarakat adat setempat untuk membebani lahan petuanan dengan kegiatan pertanian dan eksploitasi hutan yang bermanfaat jangka pendek, melampaui paham kebahagiaan/kesejahteraan (dunia akhirat, ekonomi spiritual) dan praktek manajemen berkelanjutan tradisional yang berwawasan lingkungan.
Masyarakat adat dan komunitas-komunitas desa pada kawasan hulu tersebut baik lelaki maupun perempuan, cenderung kehilangan rasa percaya diri terhadap kemampuan manajemen tradisional mereka (seperti Atuvun & aneka produk budaya arif-kreatif) untuk menolong diri sendiri secara sustainabel. Mereka menjadi tergantung pada godaan solusi-solusi instan eksternal berjangka pendek dalam pemecahan problema kemiskinan yang dihadapi dengan cara mengeksploitasi sumbar daya lahan petuanan (penebangan dan penjualan kayu, input kimiawi dengan pola pertanian monokultur berbasis varietas luar, obat-obatan kimia yang sarat efek samping). Dimana erosi dan banjir di musim hujan, berbarengan dengan degradasi sumber daya pesisir pulau, dan kekeringan di musim kemarau (krisis ketersediaan air), menjadi fenomena yang lasim kini.
Mengingat komunitas adat yang cenderung tergantung pada manajemen pembangunan eksternal (hasil rencana top-down sektoral) hingga kini, termarginal bahasanya sebagai media pengetahuan tradisional (mengalami degradasi/kepunahan budaya) dan kurang kapabel dalam menangani problem hidup yang dihadapi serta implikasinya bagi kehidupan orang banyak, seperti kebutuhan air minum yang bermuara dan tersalur melalui PDAM Evu. Dengan kata lain, keputusan-keputusan perencanaan yang dibuat oleh orang luar, semakin jauh dari kebutuhan masyarakat dan kebudayaan arif setempat, sehingga hasil dari program-program yang dilaksana- kan tidak sesuai dalam pengentasan kemiskinan (perbaikan kesejahteraan) dan kesenjangan sosial serta degradasi lingkungan hidup.
Karenanya perlu dipromosikan model pendekatan perencanaan alternatif (dalam rangka Mekanisme Pembangunan Bersih-CDM) yang melibatkan para pihak atau multi-stakeholders (masyarakat adat & civil society lain, wiraswasta, dan pemerintah daerah pada suatu Lokakarya Perencanaan) guna menyepakati rencana strategis manajemen hutan berkelanjutan bagi penyediaan air termasuk pengentasan kemiskinan dan resolusi/prevensi konflik. Sifat perencanaannya adalah partisipatif, desentralis-bottom up berbasis pengetahuan/budaya tradisional dari masyarakat adat kawasan OHOIFUNWARMANEU, yang bermanfaat bagi semua penghuni pulau menuju pembangunan berkelanjutan untuk pulau kecil tersebut. Agar perencanaan strategis partisipatif sebagai komponen penting dari Manajemen Hutan Berkelanjutan berbasis Pengetahuan Tradisional dimaksud, benar-benar merupakan titik masuk humanis di mana seluruh stakeholders dapat melibatkan diri lewat SEMILOKA (Seminar dan Lokakarya) berdasarkan kebutuhan riil pada kawasan sasaran secara adaptif, maka perlu didahului dengan Penelitian Awal guna mengidentifikasi permasalahan dan isu-isu kunci serta harapan-harapan yang perlu dipecahkan secara holistik. Hasil penelitian awal (pra-SEMILOKA) ini, dapat dipakai untuk menentukan alternatif topik yang akan ditawarkan kepada peserta seminar dan lokakarya perencanaan strategis (terutama). Sutomo dkk. (2002) menegaskan, topik perencanaan ini sangat bermanfaat sebagai ruang lingkup program yang akan disusun, sehingga membatasi pembicaraan pada hal-hal yang kurang relevan dengan maksud dan tujuan kegiatan. Sedemikian sehingga pada akhir workshop/lokakarya perencanaan strategis tersebut, dapat menghasilkan serangkaian program terpadu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (OHOIFUNWARMANEU), nasional dan global, serta antar generasi (Kes Tuv Har Vit Ne Mav Derat dalam term Orang Kei).
1.2. Tujuan Kegiatan
Tujuan Umum (Goal)
Kesejahteraan-kemandirian dan kenyamanan masyarakat lokal perempuan maupun lelaki pada kawasan OHOIFUNWARMANEU (Ohoinol, Marfun, Warwut, Semawi, Letvuan, Evu) serta masyarakat Pulau Kei Kecil dan Dullah umumnya diperbaiki, melalui manajemen hutan berkelanjutan bagi kelestarian tanah dan air berbasis pengetahuan tradisional masyarakat setempat.
Tujuan Khusus (Objectives)
a. Melakukan studi awal (small research) guna mengetahui permasalahan dan isu-isu kunci serta harapan kontekstual, berikut spirit pengetahuan tradisional masyarakat adat kawasan OHOIFUNWARMANEU Pulau Kei Kecil dalam manajemen berkelanjutan dari sumber daya hutan tanaman-tanah dan air yang rentan dan terbatas.
b. Melaksanakan Seminar tentang Hasil Studi yang dilakukan beserta input makalah pendukung.
c. Menyelenggarakan lokakarya tentang perencanaan strategis (konsensus visi dan rencana aksi bersama) guna meningkatkan partisipasi masyarakat setempat dalam manajemen hutan berkelanjutan bagi keselamatan sumber air dan kesejahteraan hidup.
d. Mempublikasi dan desiminasi proses maupun hasil perencanaan aksi bersama yang dilakukan.
1.3. Output Yang Diharapkan
a. Terlaksananya penelitian awal (small research) dalam menjaring/mendoku-mentasi data dan informasi tentang permasalahan yang dihadapi serta potensi pengetahuan tradisional di Pulau Kei Kecil kawasan OHOIFUNWARMANEU (terutama dari generasi tua perempuan & lelaki) yang berkaitan dengan manajemen hutan berkelanjutan dan cara-cara menggunakannya, bagi keselamatan sumber daya air (kelestarian hutan-tanah-air) serta sumber-sumber ekonomi kreatif dalam mengangkat kesejahteraan masyarakat setempat dan melestarikan budaya lokal arif agar tidak punah.
b. Terbangunnya kesadaran dan partisipasi publik terutama kepedulian masya-rakat adat setempat tentang kegunaan akar pengetahuan/budaya tradisional dan perbaikan interaksi antar stakeholders (strengthening local institution & human development) bagi perlindungan dan manajemen hutan lestari, sekaligus termotivasi mengembangkan cara-cara dan produk budaya terbaik konstrutivis berwawasan lingkungan khas Kei Kecil warisan leluhur.
c. Terwujudnya partisipasi aktif dari semua stakeholders relevan dalam menyepakati (consensus building) rencana strategis yang memfokuskan visi-tujuan dan prioritas program aksi bersama dalam manajemen hutan dan sumber air berkelanjutan berbasis pengetahuan/budaya tradisional masyarakat setempat yang lebih kreatif-komprehensif dan berdampak positif terhadap kelestarian aspek-aspek kehidupan/kesejahteraan bersama lainnya pada pulau kecil, termasuk pariwisata.
d. Terpublikasi dan terdiseminasi keseluruhan proses-hasil dan rencana aksi bersama, sebagai rujukan dan muatan lokal bagi semua pihak terkait dalam pengembangan sumber daya masyarakat adat dan penguatan institusi lokal pendukung manajemen hutan berkelanjutan berbasis Iptek tradisional/budaya Orang Kei bagi keselamatan sumber air, sekaligus pelestarian pesisir pulau kecil Nuhu Roa menghadapi ancaman pemanasan global ke depan.
Lokakarya | Budaya Daerah |
Sumber Air | Objek Wisata |