Johan Markus Matinahoru
(Staf dosen Jurusan kehutanan Fakultas Pertanian Unpatti-Ambon)
Pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah sebuah kebijakan pemerintah yang pelaksanaannya didasarkan pada keputusan Menteri Kehutanan Nomor 35/Kpts/1996. Latar belakang diterbitkannya keputusan Menteri ini adalah untuk memanfaatan kayu-kayu hasil land-clearing pada lahan-lahan hutan yang dikonversi untuk tujuan perkebunan, transmigrasi, HTI dan lain-lain. Sudah 10 tahun implementasi dari Keputusan Menteri Kehutanan tersebut dan belum ada suatu evaluasi terhadap dampak dari pada pelaksanaannya. Namun dari beberapa penelitian menunjukan bahwa ada terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi SK tersebut, dan akibat-akibat yang ditimbulkan adalah kerusakan ekosistem hutan maupun kerugian di pihak masyarakat pemilik lahan hutan. Beberapa penyimpangan yang dapat teridentifikasi di lapangan adalah : (1). Hampir 50 % pengusaha menjalankan IPK pada lahan-lahan hutan produksi dan bukan pada lahan hutan konversi, (2). Hampir 100 % pengusaha yang menjalankan IPK pada lahan hutan milik masyarakat adalah membohongi masyarakat dengan janji-janji kosong berupa penanaman kembali lahan mereka dengan tanaman perkebunan, atau dengan hanya melakukan ganti rugi yang murah yaitu Rp 10.000 sampai Rp 20.000/pohon yang ditebang. Kondisi seperti ini telah mendorong kerusakan hutan yang hebat di Maluku, terutama karena banyak Kabupaten baru yang umumnya mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan cara eksploitasi hutan melalui IPK. Pada hal Maluku adalah provinsi yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil sehingga hutan merupakan satu-satunya penyangga utama bagi keselamatan pulau dan kelestarian plasma nuftahnya. Karena itu kebijakan-kebijakan eksploitasi hutan di Maluku harus jauh lebih ketat dan bukan mudah prosesnya seperti IPK. Saat ini di Maluku terdapat 50 Pengusaha Kayu yang menjalankan IPK dengan taksiran luas konsensi 1.2 juta hektar hutan. Jumlah kayu yang diproduksi adalah 200.000 – 300.000 m3/tahun. Nampaknya jumlah pengusaha IPK akan terus meningkat karena dengan menjalankan IPK, para pengusaha hanya dibebankan membanyar pajak Rp 10.000/m3 kayu, disamping proses dan mekanisme perizinan sangat sederhana bila dibandingkan dengan proses perizinan dan beban-beban yang harus diselesaikan sebuah HPH (Hak Pengusahaan Hutan).
Selanjutnya ...